Halaman

Rabu, 02 Desember 2015

Cerpen Agama (Religi)

Cinta Atas RidhoNya

“San, kamu sudah cukup umur Le. Apa belum ada wanita yang sreg di hatimu?” tanya Ummi Husna pelan.
“Masih belum siap lahir batin Ummi. Hasan ragu, apakah ada wanita yang mau dengan lelaki yang belum punya pekerjaan tetap sepertiku?” jawabku pelan.
“Rezeki itu kan udah ada yang ngatur to Le. Siapa tahu habis menikah rezeki itu datang dan sampean akan sukses bersama istrimu” Balas Ummi.
Aku hanya bisa diam sejenak sambil merenungi kata Ummiku yang ada benarnya itu.
“Apa kamu ndak minta tolong dicarikan sama Pak Kyaimu saja to Le?” timpal Ummi mengagetkan lamunanku. Mungkin maksud Ummi adalah Abah kyai Musthofa. Aku memang pernah nyantri di pondok pesantren beliau selama beberapa tahun. Sebuah pondok kecil yang jaraknya sekitar 15 KM dari rumah.
“enggeh Umm, insya Allah besok Hasan sowan ke rumah Pak Kyai” jawabku.
Esok harinya di siang hari, aku langsung memacu motorku menuju ke Ponpes Nurul Musthofa. Setibanya aku di sana, Sayang Pak kyai tidak ada di tempat.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumussalam warohmatullah..”
“Abah yai sedang Ziarah Wali beserta seluruh Santri Putra kok Kang.” Tutur Lina setelah mempersilahkan aku masuk. Ia salah satu Santri putri penghafal Al-Qur’an di sini.
“Iya Kang, Abah sedang Ziarah Wali” jelas Ning Dhila sambil membawakan teh manis untukku. Sepintas senyumnya kepadaku membuatku sedikit salah tingkah.
Ning Fadhila ialah Putri satu-satunya dari Kyai Musthofa. Ia belum menikah, namun dengar-dengar sudah mau dijodohkan dengan salah satu santri kesayangan Abah Yai.
“Kang Hasan memang ada perlu apa dengan Abah?” tanya Ning Dhila mengagetkan lamunanku.
“Oh, enggak ada apa-apa Ning. Cuma ingin silaturrahim saja dengan Abah. Lagian saya juga cukup lama tidak ke sini.” jawabku tidak berkata sejelas-jelasnya. Karena tujuan utamaku Sebenarnya bukan hanya itu.
“Mosok cuma silaturrahim to kang? saya pikir ada perlu apa gitu.” Tanya Ning Dhila
“Mau mengundang Abah kyai untuk mengisi acara Walimahnya kang Hasan misalnya?” timpal Lina nyeletuk, sedang Ning Dhila tersenyum kecil mendengar kata teman dekatnya itu.
“Ya enggaklah, calonnya aja belum ada kok. Lagian mana ada yang mau dengan saya yang belum punya apa-apa ini?”
“Ah, jangan merendah kang. Sampean kan rajin dan pintar masalah agama. Salah satu santri berprestasi juga di sini. Pasti banyak yang mau.” ujar Lina.
“Saya pun juga mau kok kang, hehehe” timpalnya lagi. Kali ini Ning Dhila senyumnya tambah lebar sambil menatapku sepintas.
“Hust, ada-ada aja kamu Lin. Bercanda terus sukanya.”
“Hehehe, ya maaf Dhil.”
“Hmm. Ya doakan saja ya Lin, dan Ning. Semoga saya segera dipertemukan dengan jodoh saya”
“Aamiin Ya Rabb” jawab dua Sahabat dekat itu serempak.
“Ya sudah, saya izin pamit dulu saja. Insya Allah kapan-kapan saya ke sini lagi kalau Pak Kyai sudah pulang.”
“itu kang tehnya gak diminum dulu?” tanya Ning Dhila.
“Afwan Ning, Ana Shoimun” Jawabku pelan sambil tersenyum. Ning Dhila pun langsung paham dan membalas dengan senyuman pula.
“Subhanallah, begitu sejuk dipandang senyumnya. Beruntung sekali lelaki yang akan menjadi jodoh Ning Dhila.” batinku.
“Ada apa kang?” tanya Lina membuyarkan anganku.
“Astaghfirullah..” ungkapku Lirih.
“Eh, enggak apa-apa. Sudah dulu ya Lin, Ning. Assalamualaikum warahmatullah..”
“Waalaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh..”
Motorku mulai meninggalkan Pondok Pesantren menuju rumahku.
Baru beberapa kilometer dari pesantren, aku melihat ada seorang wanita yang sedang menuntun motornya. Dengan segera aku menghentikan motor untuk menghampirinya.
“Assalamualaikum.. ada yang bisa saya bantu mbak?”
“Waalaikumussalam tadz, ini loh bensin saya kebetulan habis. Lah kebetulan juga ini lagi di persawahan, sedang warung yang jual bensin masih jauh”
“Maaf mbak, saya bukan Ustadz. Ya sudah, kalau mbak berkenan saya akan ambilkan bensin dari warung yang di depan sana. Mbak tunggu saja di sini”
“Baik Mas, maaf ya. Tadi saya kira mas itu Ustadz.” jawab mbak itu sambil tersenyum menatap peci putih yang ku pakai.
“Ada-ada saja memang, baru pakai peci saja sudah dipanggil Ustadz.” batinku merasa geli.
Tiba juga akhirnya aku di rumah.
“Assalamualaikum Bi”
“Waalaikumussalam. Dari mana saja kamu Le?” tanya Ayahku, Abi Imam yang sedang menyeduh kopi di teras rumah.
“Dari Pesantren Bi, Ummi sudah cerita kan?”
“Iya Le, lalu bagaimana?”
“Belum bertemu Bi, Pak Kyai sedang pergi.”
“Innallaha ma’as shobirin. Namanya juga belum waktunya Le.” Sahut Ummi dari dalam kamar.
Aku hanya bisa tersenyum kecut kala itu. Berbarengan dengan suara Adzan Ashar dari masjid dekat rumahku.

Pagi ini aku harus bergegas pergi ke sawah Pak Minto. Beliau menyuruhku untuk bekerja membantunya memanen padi di sawahnya yang cukup luas. Memang di Tulungagung tempat kelahiranku ini kebanyakan warganya bercocok tanam. Sore menjelang, cape juga rasanya. Tapi ya Alhamdulillah, masih ada pekerjaan yang bisa aku lakukan. Apapun itu yang penting halal. Malam ini aku seharian di kamar karena cape. Teringat kemarin, bertemu dengan Ning Dhila. Senyumnya yang menyejukkan menari-nari di pikiranku.
“Ting.. Ting..” Suara nada sms menghancurkan lamunanku.
“Astaghfirullah, Rasa apa ini Ya Rabb?” segera ku gapai HP-ku di atas meja.
Ternyata sms dari wanita yang kehabisan bensin kemarin. Ia sempat meminta nomor HP kepadaku kemarin.
“Makasih ya mas buat kemarin, mas namanya siapa sih?” Tidak langsung aku membalasnya. Namun sejenak aku malah tersenyum simpul.
Mungkin inilah alasannya mengapa belum pernah ada wanita yang dekat sampai menjalin suatu hubungan denganku selama hidup. Memang aku terlalu pemalu jika di depan wanita. Terlihat begitu cuek. Sampai-sampai membantu wanita saja tidak kenalan dahulu. Lagi pula aku berpegang teguh untuk tidak berpacaran, karena agama islam tidak mengenal yang namanya pacaran. Rasulullah hanya menganjurkan Menikah Atau Berpuasa. Tidak ada opsi pacaran sama sekali. Meski puasaku hanya sekedar Senin dan Kamis, setidaknya aku sudah berusaha.
Tak ku jawab pesan dari wanita itu. Namun langsung ku telepon saja. Baru aku tahu, ternyata dia Lebih dewasa setahun umurnya denganku. Rumahnya pun hanya di desa sebelah. Mungkin aku saja yang memang terlalu kuper, sampai-sampai gadis desa sebelah saja tidak tahu. Dia seorang penjaga apotek sekaligus masih kuliah jurusan Kedokteran di Malang. Namanya Dela, teringat langsung dengan Ning Dhila putri Pak Kyai. “Namanya mirip!” Batinku.
Sangking capenya, terlelaplah aku malam itu setelah menelepon Dela tadi. Seperti ada yang menyuruhku bangun, pukul 3 akhirnya aku terjaga. Langsung saja ku ambil air wudu karena teringat semalam belum salat isya. Lalu ku teruskan dengan salat qiyamul lail beserta Witir. Tak henti-hentinya ku berdoa memohon untuk segera dipertemukan dengan bidadari pendamping hidupku. Usiaku memang 27 tahun, belum terlalu tua untuk ukuran lelaki yang membujang. Namun gejolak di dada yang terus mengaung, seakan ingin ke luar melahap mangsanya. Imanku yang lemah ini tidak cukup kuat untuk terus menahannya.
Tibalah aku di Pesantren Nurul Musthofa pagi ini. Dari gerbang pesantren ku lihat seperti ada kesibukan di Ndalem (Rumah Abah Yai), seperti ada tamu. Ku urungkan saja dulu niat awalku. Langsung saja ku parkir motor di dekat Masjid dan aku masuk Masjid. Daripada sambil bengong menunggu kesibukan di Ndalem usai, aku sempatkan saja salat dhuha di masjid pesantren, lalu membaca Al-Qur’an yang sudah tersedia di masjid. Lagipula aku masih punya wudu dari rumah tadi.
“Hasan?!” suara lelaki yang tidak asing mengagetkanku.
“Sadaqallahul ‘adzim..” ku sudahi membaca kitabullah dan langsung menoleh ke belakang. Sejenak ku pandangi wajah lelaki itu, “Masya Allah, Yani..”
Langsung saja ku peluk dia. Pangling rasanya lama tidak ketemu. Dia dulu adik kelasku sekaligus teman dekatku di pesantren. Dia yang seringkali ngintil -mengikuti- aku kemana saja aku berada kala itu. Ia sekarang jadi lurah pondok di sini.
“Ngomong-ngomong, di Ndalem sedang ada apa to Yan?”
“Anu San, Ning Dhila sedang dijodohkan dengan Ali, santri di sini. Kamu pasti belum kenal Ali. Dia asal Ponorogo dan sudah 3 tahun nyantri di sini”
“Oh…” jawabku singkat. Aku bingung untuk menjawab apa. Dibilang sangat senang ya tidak, sedih juga tidak. Bahkan kaget pun tidak. Soalnya sudah dengar dari kemarin-kemarin kalau putri semata wayang Abah Yai ini akan dijodohkan. Entah bagaimana rasanya, entah apa namanya. Seperti ada yang mengganjal di hati ini.
“Lalu Yan?” Lanjutku memecah keheningan.
“Entahlah San, aku tadi dari sana. Lalu disuruh Abah buat menemui orang yang di Masjid. Abah tahu kedatangan seseorang, eh ternyata itu kamu to.”
“Menurutku Ning Dhila tidak menyukai Ali dari cara Ning bersikap tadi. Tapi aku juga tak tahu. Sepertinya Ning Dhila sudah mengidamkan sesosok lelaki lain.” lanjut Yani.
Tak lama kemudian terlihat 3 santri putra ke luar dari Ndalem Abah Yai.
“Itu loh San, yang tengah Namanya Ali” kata Yani Sambil menunjuk lelaki berbaju koko warna biru langit.
“cakep juga kan?” sambungnya.
Sesaat kemudian Pak Kyai Musthofa ke luar menghadap ke Masjid yang tepat ada di depan Ndalem hanya beberapa meter saja sembari menepukkan tangannya sekali guna memanggil Yani.
“Ayo san ke Ndalem. Kita dipanggil Abah Yai tuh.”
Dengan segera aku menuju ke Ndalem.
“Assalamualaikum Bah..”
“Waalaikumussalam Warohmatullahi wabaraokatuh. Mari San masuk, duduk, duduk.”
“Sebenarnya ada perlu apa to nak sampean ingin bertemu Abahmu ini? Kebetulan senin kemarin Abah lagi ziarah Wali.” kata Abah Yai membuka pembicaraan.
“Pertama-tama saya ingin silaturrahim kepada Abah yang sudah lama tidak saya lakukan.” jawabku dengan hati-hati.
“Yang kedua. Saya dan keluarga saya setuju jikalau saya memang sudah saatnya untuk menikah bah. Maka dari itu saya ke sini karena ingin dicarikan seseorang pendamping langsung dari panjenengan.” Lanjutku sedikit lega. Sedang sikap Yani sedikit terkejut juga tentang penyataanku tadi.
“Oalah nak, jadi kamu pengen Abah yang nyariin calon buat kamu to? Ini kebetulan Ndukku Abah Ta’arufkan dengan Nak Ali sudah dari seminggu lalu, namun hari ini Nduk mengambil keputusan agar ta’arufnya dihentikan. Abah juga ndak ngerti, ndak cocok kata nduknya sendiri.” Sudah jelas kiranya jika Nduk yang Abah maksud adalah Ning Dhila.
“Bagaimana jika sampean Abah jodohkan dengan Nduk? Kamu mau?”
Aku dan Yani saling bertatapan, kaget juga agaknya kami berdua.
“Tapi Bah, apa pantas lelaki seperti saya berdampingan dengan putri semata wayang panjengan?” tuturku seakan tidak percaya.
“Ya kalau memang jodoh kenapa tidak? kan sudah jelas firman Allah dalam surat An-nuur ayat dua enam.”
“wanita baik adalah untuk laki-laki baik kan Bah?” sahut Yani.
“Iya betul itu, sekarang kita lihat bagaimana tanggapan Nduk saja.”
“Nduk, Nduk!”
“Ada apa to Bah? Nduk lagi di belakang. Sedang merenung dia. Sepertinya gak bisa diganggu.” Malah Bu Nyai yang menjawab dan datang ke ruang tamu.
“Ini loh, Nak Hasan mau dicariin calon. Bagaimana kalau calonnya itu anak kita saja? Coba tanyain ke Nduk saja Buk.”
“Nggeh Bah, sebentar ya Nak Hasan.” Bu Nyai Masuk Lagi ke dalam guna menemui Ning Dhila. Sedang aku bingung menanti kepastian, apalagi menilik dari siapa diriku ini. Pantaskah aku?
“Bah, Abah..” Kata Bu Nyai setengah teriak dari dalam. Beliau langsung menemui Abah dan membisikkan sesuatu kepada Abah Yai. Tampak sumringah sekali Bu Nyai.
“Subhanallah, walhamdulillah. Nduk Dhila menerima kamu nak. Nduk Dhila dan kamu sudah saling kenal lama. Bahkan kata Nduk, jika kamu melamarnya hari ini pun Nduk akan terima.”
“Alhamdulillah, Allahu Akbar!!” pekik diriku.
Aku langsung saja memeluk Yani yang berada di sampingku. Tak henti-hentinya ku ucapkan rasa syukur dan Takbir Kepada Allah. Mungkinkah sesosok lelaki yang diidamkan Ning Dhila adalah aku? sampai-sampai berani menolak Ali, bahkan seseorang pilihan Abahnya sendiri ia tolak. Demi Akukah? Allahu A’lam.
“Apa kamu benar-benar siap nak jika ijab qabulnya hari ini juga? apa kamu punya sesuatu untuk dijadikan mahar nikah?”
“Insya Allah Bah. Jika memang hari ini yang terbaik menurut Abah. Saya sami’na Wa Atho’na saja sama Abah.”
“Bukankah melakukan kebaikan itu jangan ditunda-tunda? Ini sunnah Rasul Nak. Kalau begitu kamu pargi ke Masjid saja sekarang, kamu Adzan dulu. Kebetulan ini sudah masuk waktunya dzuhur. Ba’da Dzhuhur akan langsung dimulai acara ijab qabulnya. Saksinya para santri putra.”
“Sami’na Wa Atho’na bah.” bergegaslah aku ke masjid.
Melantunkan Adzan sambil menahan luapan air mata bahagia. Baru sekali ini rasanya aku melantunkan Adzan dengan hati penuh rasa syukur. Karena sebentar lagi, aku akan menyempurnakan separuh agamaku. Dengan seseorang yang bahkan melebihi apa yang selama ini aku bayangkan.
“Ankahtuka Wazawajtuka Mahtubataka Nurul Fadhilah Binti Ahmad Musthofa Bil Mahril Miati Alfin Rupiah Hallan.”
“Qobiltu Nikahaha watazwijaha Bil Mahril Madzkuur Hallan.”
“Sah?”
“Sah.”
“Alhamdulillah.”
“Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair”
—-
“Alhamdulillah Le, Ummi dan Abi di sini ikut bahagia. Kami akan segera menyusul ke sana ya Le” kata Ummi saat aku menelepon beliau perihal pernikahanku.
“Alhamdulillah ya, kamu beneran jadi seorang ustadz sekarang. Semoga keluarganya Sakinah mawadah warahmah ya,” ungkap Dela setelah ku kabari via sms.
Hari-hari bahagia yang selama ini ku nanti pun tiba. Sungguh selama ini sama sekali tak terbesit pikiran untuk bisa menikahi putri pak kyai.
“Apa kamu gak menyesal Ning menerima pinanganku?”
“Jangan panggil Ning dong. Kan sekarang kita sudah halal. Aku panggil sampean mas, Mas panggil aku dek.”
“Oh sudah Halal ya? Kalau begitu… Boleh dong aku..” kataku memancing.
“Hust, yang sabar dong mas. mari kita salat dulu?” ajaknya.
“Oh iya. Hampir lupa. hehehe..”
Bulan pun berganti, Ali sekarang sudah punya pengganti Dek Dhila. Wanita itu Adalah Lina, sahabat dekat Dek Dhila. Aku pun sekarang tahu, bahwa selama ini akulah lelaki yang dicintai Dek Dhila dari dulu. Begitu pula aku, mungkin Dek Dhilalah wanita pertama yang sanggup meluluhkan hatiku. Dengan keanggunannya, ke salehaannya, senyumnya yang menyejukkan hati. Kita sudah lama saling mengenal, namun tidak saling mengetahui perasaan masing-masing. Mungkin inilah yang dinamakan Cinta atas RidhoNya. Subhanallah. Sungguh memang, benar seperti Lagunya Afgan. Jodoh Pasti bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar